0
Memori MOS-ku di SMK TeNa
Posted by Jari Keriting
on
Jumat, Maret 23, 2012
in
Sahabat Jari
“Mau berangkat jam berapa Nyun?” tanya Nunk sehari sebelum hari bersejarah itu. Hari yang tak bisa aku lupakan hingga kini, meski sudah sebelas tahun berlalu.
“Agak siangan aja deh, paling juga cuma perkenalan biasa. Ok!” jawabku.
“Ok.”
***
Sesuai yang telah disepakati, jam tujuhan kami (Nyun dan Nunk) baru beranjak dari rumah. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar hampir empat puluh lima menit, dan tentunya matahari telah tersenyum riang. Salembaran--Tugu, perlu dua kali berganti angkot. Dan dalam perjalanan itu, euforia hatiku tergambar jelas di wajahku. Senang bercampur bangga. Ya Allah ... mimpiku menjadi nyata. Aku bisa masuk SMA. Dan hari ini awal dari segalanya, awal mimpiku-awal cita-citaku dan tentunya awal perjuanganku.
“Tugu kiri bang!” Elf menepi. Dua remaja putri berseragam Tsanawiyah lengkap turun, aku dan sahabat tercintaku Nunk. Tugu menyambut kami dengan semangat mentari. Ada banyak harapan yang ditawarkan, dan kami bergegas menuju ke sana. Ke gedung yang kelak selama tiga tahun akan menyimpan tawa dan airmata kami, mematri semua kenangan pada dinding-dinding bisunya. SMK Tena kami menyebutnya.
Butuh sekitar 200 meter dari tugu menuju sekolah (bener nggak ya … maaf dulu sih nggak kepikiran buat ngukur hihihi). Berjalan dengan obrolan ringan dan kelakar kecil, santai. Dan baru beberapa langkah memasukin gerbang sekolah baru kami …
“Hey... KALIAN … CEPAT KE SINI!!!” mataku menangkap seorang remaja sintal berseragam abu-abu menunjuk ke arah aku dan Nunk. Kami saling beradu pandang. Sejurus kemudian mata kami menyapu halaman sekolah yang cukup luas itu. Tak ada siapa pun selain kami.
“Siapa sih?” tanyaku polos. (dulu sih masih imut-imut dan polos abis... hihihi)
“Kita deh kayanya Nyun.”
“Hah … “
“HEY ... CEPAT LARI!” Teriakan kedua menyusul. Seolah bagai dikomando kami pun mempercepat langkah kami. Degup jantungku mulai berlari, napasku turun-naik dengan cepatnya. Di otakku muncul bermacam pertanyaan. Aku mulai takut.
Wajah garang terpasang. Remaja putri di hadapan kami berang. Seolah kami adalah sarapan paginya, penuh nafsu ia menatap kami. Segera kami dibariskan.
“Kalian ini, sudah tahu telat malah nyantai lagi. Nggak tahu apa sekarang udah jam berapa? Kalian ingat kan disuruh datang jam berapa?” bentaknya tanpa jeda. Makin bertambahlah rasa ngeri yang muncul di hati dan otakku.
“Maaf Ka ... ” bergetar suaraku mengucapkannya. Otakku mulai mencerna situasi. Mereka pasti Kakak Seniorku, dan ini mungkin sudah masuk dalam rangkaian acara Masa Orientasi Siswa (MOS). Ekor mataku melirik ke sebelahku, di mana Nunk berdiri bisu. "Apakah Nunk juga merasakan apa yang aku rasa?" bisikku dalam hati. (Berasa roamntis euy ...hihihi)
“Ya sudah, sekarang kalian bending sepuluh kali.” Garang belum juga surut dari mimik wajah Kak Senior. Sepuluh kali naik-turun, tubuh kami kompak bergerak. Tak ada sanggah dan kilah.
Seorang pemuda tinggi menghampiri kami. Berkulit putih dan berseragam abu-abu rapih. Rambutnya yang agak ikal membelah tengah. Licin. Seperti belum puas dengan apa yang kami alami, omelannya meluncur cepat. Esoknya kuketahui Dia adalah Wakil Ketua OSIS kami dalam masa bakti yang tengah berjalan. (Aaah sayangnya aku koq nggak bisa mengingat nama mereka ya … kalau wajahnya Insya Allah masih ingat sih kalau tidak mengalami perubahan … hehehe)
Setelah puas melumat kami (dah kaya perkedel aja … hehe). Akhirnya mereka menyuruh kami masuk ke ruang kelas, bergabung dengan teman-teman senasib-seperjuangan kami. Mereka lebih dulu merasakan sambutan manis Kakak Senoir ini.
“Kamu masuk ke kelas itu.” Telunjuk Senior mengarah ke wajahku, lalu bertukar ke arah kelas di kiri kami. “Dan kamu masuk ke sana,” lanjutnya, memberi perlakuan sama terhadap sahabatku, tapi arah kelas yang dituju berbeda, kali ini ke arah kanan kami.
“Oooh tidaaaaaaak ... kami beda kelas. Bagaimana ini... tak ada satupun yang kukenal selain Nunk di sini. Ya Allah ....” Aku kikuk ... tapi itu tak berlangsung lama. Setelah melewati pintu kelas, aku melihat wajah Jun, teman MI-ku. Ada wajah-wajah yang juga familiar di mataku. Beberapa tetangga kampungku. Dan itu cukup membuat kecemasanku berkurang. "Alhamdulillah," gumamku dalam hati.
Setahun kemudian.
“HEY... JANGAN KAYA KEONG DONG … LELET BANGET SIH … CEPET … CEPET...!” Bentakku. Wajah-wajah polos itu memutih, sedikit pucat. Raut ketakutan tergambar samar. Namun ada sebagian yang santai menjurus cuek ... "Aaah apakah wajahku dulu seperti mereka?" hatiku cekikikan sendiri. Roda memang tengah berputar. Kakak Senior jadi gelar yang secara otomatis kusandang kini.
MOS yang kemudian berganti nama menjadi MBS (Masa Bimbingan Siswa) sejak insiden STPDN mencuat ke khalayak belum juga mampu menggeser ritual turun-menurun ini. Teriakan dan bentakan tetap lestari. Hanya kontak fisik yang dihindari. Selebihnya ... tak ada yang berubah. Tapi setelah sebelas tahun, hari-hari itu jadi warna unik dalam gradasi tumpukan memoriku, yang mampu dengan cepat kutemukan dan bisa dengan lancar kuceritakan kembali.
Untuk Nunkku tercinta, apakah kau masih mengingatnya? Kuharap iya … semoga :)
I Always miss you Honey.
Cikarang, 1 Februari 2012
Adiba Ad-Dawiyah
“Agak siangan aja deh, paling juga cuma perkenalan biasa. Ok!” jawabku.
“Ok.”
***
Sesuai yang telah disepakati, jam tujuhan kami (Nyun dan Nunk) baru beranjak dari rumah. Perjalanan menghabiskan waktu sekitar hampir empat puluh lima menit, dan tentunya matahari telah tersenyum riang. Salembaran--Tugu, perlu dua kali berganti angkot. Dan dalam perjalanan itu, euforia hatiku tergambar jelas di wajahku. Senang bercampur bangga. Ya Allah ... mimpiku menjadi nyata. Aku bisa masuk SMA. Dan hari ini awal dari segalanya, awal mimpiku-awal cita-citaku dan tentunya awal perjuanganku.
“Tugu kiri bang!” Elf menepi. Dua remaja putri berseragam Tsanawiyah lengkap turun, aku dan sahabat tercintaku Nunk. Tugu menyambut kami dengan semangat mentari. Ada banyak harapan yang ditawarkan, dan kami bergegas menuju ke sana. Ke gedung yang kelak selama tiga tahun akan menyimpan tawa dan airmata kami, mematri semua kenangan pada dinding-dinding bisunya. SMK Tena kami menyebutnya.
Butuh sekitar 200 meter dari tugu menuju sekolah (bener nggak ya … maaf dulu sih nggak kepikiran buat ngukur hihihi). Berjalan dengan obrolan ringan dan kelakar kecil, santai. Dan baru beberapa langkah memasukin gerbang sekolah baru kami …
“Hey... KALIAN … CEPAT KE SINI!!!” mataku menangkap seorang remaja sintal berseragam abu-abu menunjuk ke arah aku dan Nunk. Kami saling beradu pandang. Sejurus kemudian mata kami menyapu halaman sekolah yang cukup luas itu. Tak ada siapa pun selain kami.
“Siapa sih?” tanyaku polos. (dulu sih masih imut-imut dan polos abis... hihihi)
“Kita deh kayanya Nyun.”
“Hah … “
“HEY ... CEPAT LARI!” Teriakan kedua menyusul. Seolah bagai dikomando kami pun mempercepat langkah kami. Degup jantungku mulai berlari, napasku turun-naik dengan cepatnya. Di otakku muncul bermacam pertanyaan. Aku mulai takut.
Wajah garang terpasang. Remaja putri di hadapan kami berang. Seolah kami adalah sarapan paginya, penuh nafsu ia menatap kami. Segera kami dibariskan.
“Kalian ini, sudah tahu telat malah nyantai lagi. Nggak tahu apa sekarang udah jam berapa? Kalian ingat kan disuruh datang jam berapa?” bentaknya tanpa jeda. Makin bertambahlah rasa ngeri yang muncul di hati dan otakku.
“Maaf Ka ... ” bergetar suaraku mengucapkannya. Otakku mulai mencerna situasi. Mereka pasti Kakak Seniorku, dan ini mungkin sudah masuk dalam rangkaian acara Masa Orientasi Siswa (MOS). Ekor mataku melirik ke sebelahku, di mana Nunk berdiri bisu. "Apakah Nunk juga merasakan apa yang aku rasa?" bisikku dalam hati. (Berasa roamntis euy ...hihihi)
“Ya sudah, sekarang kalian bending sepuluh kali.” Garang belum juga surut dari mimik wajah Kak Senior. Sepuluh kali naik-turun, tubuh kami kompak bergerak. Tak ada sanggah dan kilah.
Seorang pemuda tinggi menghampiri kami. Berkulit putih dan berseragam abu-abu rapih. Rambutnya yang agak ikal membelah tengah. Licin. Seperti belum puas dengan apa yang kami alami, omelannya meluncur cepat. Esoknya kuketahui Dia adalah Wakil Ketua OSIS kami dalam masa bakti yang tengah berjalan. (Aaah sayangnya aku koq nggak bisa mengingat nama mereka ya … kalau wajahnya Insya Allah masih ingat sih kalau tidak mengalami perubahan … hehehe)
Setelah puas melumat kami (dah kaya perkedel aja … hehe). Akhirnya mereka menyuruh kami masuk ke ruang kelas, bergabung dengan teman-teman senasib-seperjuangan kami. Mereka lebih dulu merasakan sambutan manis Kakak Senoir ini.
“Kamu masuk ke kelas itu.” Telunjuk Senior mengarah ke wajahku, lalu bertukar ke arah kelas di kiri kami. “Dan kamu masuk ke sana,” lanjutnya, memberi perlakuan sama terhadap sahabatku, tapi arah kelas yang dituju berbeda, kali ini ke arah kanan kami.
“Oooh tidaaaaaaak ... kami beda kelas. Bagaimana ini... tak ada satupun yang kukenal selain Nunk di sini. Ya Allah ....” Aku kikuk ... tapi itu tak berlangsung lama. Setelah melewati pintu kelas, aku melihat wajah Jun, teman MI-ku. Ada wajah-wajah yang juga familiar di mataku. Beberapa tetangga kampungku. Dan itu cukup membuat kecemasanku berkurang. "Alhamdulillah," gumamku dalam hati.
Setahun kemudian.
“HEY... JANGAN KAYA KEONG DONG … LELET BANGET SIH … CEPET … CEPET...!” Bentakku. Wajah-wajah polos itu memutih, sedikit pucat. Raut ketakutan tergambar samar. Namun ada sebagian yang santai menjurus cuek ... "Aaah apakah wajahku dulu seperti mereka?" hatiku cekikikan sendiri. Roda memang tengah berputar. Kakak Senior jadi gelar yang secara otomatis kusandang kini.
MOS yang kemudian berganti nama menjadi MBS (Masa Bimbingan Siswa) sejak insiden STPDN mencuat ke khalayak belum juga mampu menggeser ritual turun-menurun ini. Teriakan dan bentakan tetap lestari. Hanya kontak fisik yang dihindari. Selebihnya ... tak ada yang berubah. Tapi setelah sebelas tahun, hari-hari itu jadi warna unik dalam gradasi tumpukan memoriku, yang mampu dengan cepat kutemukan dan bisa dengan lancar kuceritakan kembali.
Untuk Nunkku tercinta, apakah kau masih mengingatnya? Kuharap iya … semoga :)
I Always miss you Honey.
Cikarang, 1 Februari 2012
Adiba Ad-Dawiyah